Senja Di Balik Jendela

 Mentari senja merayap masuk melalui celah jendela, mewarnai dinding kamar dengan jingga yang sendu. Di kursi roda, seorang wanita tua bernama Nenek Ratih menatap kosong ke arah taman yang dulu ramai dengan tawa anak-anak. Kini, hanya ada hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan, seolah berbisik tentang kenangan yang telah lama berlalu.

 

Dulu, rumah ini adalah tempat yang penuh kehangatan. Suaminya, Kakek Surya, selalu menyambutnya dengan senyum hangat dan pelukan erat. Anak-anak mereka berlarian di halaman, bermain petak umpet di balik pohon mangga yang rindang. Setiap sudut rumah ini menyimpan cerita bahagia yang tak terlupakan.

 

Namun, waktu memang tak pernah bisa dihentikan. Kakek Surya telah lama pergi, meninggalkan Nenek Ratih seorang diri. Anak-anaknya kini tinggal di kota lain, sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing. Mereka datang menjenguk sesekali, tetapi kehadiran mereka tak pernah bisa menggantikan kehangatan yang dulu selalu ada.

 

Nenek Ratih menghela napas panjang. Tangannya yang keriput meraih sebuah foto usang di atas meja. Di foto itu, ia dan Kakek Surya terlihat muda dan bahagia, berpegangan tangan di pantai saat matahari terbenam. Senyum mereka begitu tulus, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

 

"Surya, aku merindukanmu," bisiknya lirih. Air mata mulai mengalir membasahi pipinya yang keriput. Ia merindukan suara tawa Kakek Surya, sentuhan lembut tangannya, dan cerita-cerita lucu yang selalu diceritakannya sebelum tidur.

 

Setiap hari, Nenek Ratih menghabiskan waktunya dengan mengenang masa lalu. Ia membuka album foto lama, membaca surat-surat cinta dari Kakek Surya, dan mendengarkan lagu-lagu kesukaan mereka. Kenangan-kenangan itu adalah satu-satunya yang tersisa, yang membuatnya merasa tidak terlalu kesepian.

 

Suatu sore, seorang gadis kecil bernama Anya datang berkunjung. Anya adalah cucu tetangga sebelah rumah. Ia sering datang menemani Nenek Ratih, membawakan bunga dari taman, atau sekadar bercerita tentang hari-harinya di sekolah.

 

"Nenek, kenapa Nenek selalu melihat ke luar jendela?" tanya Anya dengan polos.

 

Nenek Ratih tersenyum lembut. "Nenek sedang melihat senja, Anya. Senja itu indah, seperti kenangan-kenangan indah yang Nenek miliki."

 

Anya mengangguk-angguk. Ia lalu duduk di samping Nenek Ratih dan menggenggam tangannya. "Nenek jangan sedih ya. Anya akan selalu menemani Nenek."

 

Nenek Ratih terharu mendengar ucapan Anya. Ia memeluk gadis kecil itu erat-erat. Kehadiran Anya membawa sedikit kebahagiaan di hatinya yang sepi.

 

Senja semakin larut, langit berubah menjadi gelap. Nenek Ratih memandang bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit. Ia membayangkan Kakek Surya berada di antara bintang-bintang itu, tersenyum padanya dari kejauhan.

 

"Surya, aku tahu kau selalu ada di sini, di hatiku," bisiknya dalam hati.

 

Meskipun kesepian dan kesedihan selalu menghantuinya, Nenek Ratih tetap berusaha untuk tegar. Ia tahu, hidup harus terus berjalan, meskipun tanpa orang-orang yang dicintainya. Ia akan terus mengenang kenangan indah yang telah berlalu, dan berusaha untuk menemukan kebahagiaan dalam setiap momen yang ada.

 

Karena senja selalu datang, membawa bersamanya janji akan fajar yang baru. Dan di setiap fajar, ada harapan untuk hari yang lebih baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENGANALISIS TEMEN SEKELAS

TENTANG CINTA

Hujan di jendela kaca